Pages

Subscribe:

Labels

Minggu, 24 Mei 2015

Life Goes On

Beberapa di antara kita pasti sedang berbahagia karena cinta, kasih, hadiah, penghargaan, cita-cita yang terwujud atau karena sebuah hubungan baru telah terjalin. Namun beberapa di antara yang lainnya mungkin sedang berduka, entah itu pun karena cinta, kasih yang tak sesuai dengan harapan, kecewa yang mendalam karena janji yang tak ditepati, keberhasilan yang tertunda atau bahkan karena kehilangan. 
Mungkin saja kebahagiaan yang baru saja kita dapatkan membuat kita merasa bahwa hidup yang sesungguhnya telah datang, bahwa apa yang dijanjikan Tuhan terbuktikan sehingga kita lupa bahwa kita pernah berduka atau sampai membuat kita lupa bahwa mereka yang berada di sekitar kita, keluarga kita atau sahabat karib kita sedang bersedih. Dan mungkin kegagalan yang membuat kita bersedih menjadikan kita terpuruk dalam kekecewaan yang mendalam, membuat kita merasa bahwa hidup ini seakan-akan berakhir saat itu juga, merasa bahwa tak akan ada lagi kebahagiaan yang kan menyapa, atau bahkan kita merasa bahwa terlalu hina diri kita atas sebuah penyesalan yang pernah usai sehingga seakan-akan tak ada satu pun orang yang sudi menyeka air mata kita di saat kita benar-benar membutuhkan tangan mereka untuk menghapus air mata kita, saat kita benar-benar membutuhkan jemari mereka untuk merangkul kita dan menuntun kita untuk kembali dapat berjalan dan menghapus semua kesedihan yang bertubi-tubi itu menjadi sebuah senyuman kebahagiaan. 
Hingga akhirnya ia jatuh terpuruk dan memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara yang konyol. yaa, bunuh diri, karena bagi orang yang telah terlanjur putus asa menghakhiri hidup adalah cara terbaik saat itu, padahal tidak. bunuh diri bukanlah penyelesaian sebuah masalah justru awal dari sebuah masalah yang besar dan sangat besar. tidak untuk dirinya saja tetapi untuk orang lain, keluarganya, sahabatnya, tetangganya, teman serumah atau sekamarnya dan seluruh negara terlibat. polisi yang mengungkapkan kebenaran akan ditonton oleh seluruh manusia di dunia dan kemudian bisa saja ditiru oleh orang yang menyaksikan dan muncullah masalah baru. begitu seterusnya.
Kesedihan dan Kebahagiaan ibarat mata uang dari dua sisi yang berbeda, kebahagian ada karena kita mengenal kebahagiaan. dan kebahagiaan ada karena kita pernah merasakan kesedihan. Seseorang mengetahui dirinya sedang sakit karena dia tau bagaimana rasanya sehat. sehingga takkan ada sehat bila kita tak pernah merasakan sakit. begitupun kebahagiaan dan kesedihan.
Kebahagiaan dan Kesedihan hanya simbol dari rasa semata. hidup ini dinamis, kita tau bagaimana rasa manis karena lidah kita pernah merasakan sesuatu yang kita kenal manis. begitulah seterusnya.
hari ini mungkin kita dihidangkan sebuah kue Ulang tahun coklat dengan rasa roti yang manis dan lembut dan coklat dingin yang meleleh di dalamnya saat kita gigit, tapi mungkin esok kita akan bertemu dengan sepiring ayam goreng garing yang gurih dan renyah serta saos cabai dan saos tomat yang lezat. Bukankah keduanya sama saja?
Lezat ataupun tidak itu kembali pada kondisi kita. Jika kita menerima kedua hidangan tersebut dengan suka cita, keduanya akan menjadi hidangan yang sangat istimewa. akan tetapi sebaliknya ketika kita tidak menerima keduanya, maka keduanya akan menjadi hidangan yang tak berarti apa-apa, bahkan perut kita pun takkan kenyang dibuatnya..
So.. STOP Complaining!!
If you can't, Let's Try. Even No one knows how's the best way to be patient without trying. And No prophet can guarantee your happiness instead yourself. and you'll never know how happy your parents tomorrow if you stop moving right now..
Life Goes On, even you cry a lot, or you laugh a lot today..
Life must Go On.. Yesterday, today and Tomorrow.. :)

Sabtu, 23 Mei 2015

Obrolan Untuk Ibu

Ohh... Ibu..
Biar ku ceritakan padamu, cerita siangku hari ini..
Bu, ini adalah hari ke tujuh anakmu bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Ibu kota.
Iya Ibu, Jakarta. seperti yang pernah ibu dengar dariku sebelumnya. Masih ingatkan saat aku katakan padamu bahwa tidak lama lagi putrimu ini akan bekerja paruh waktu menjelang Ramadhan tiba nanti. 
dan saat itu Ibu bertanya padaku kapan mulai bekerjanya, seminggu lalu aku katakan bahwa hari itu aku mulai bekerja, dan hari itu terakhir kalinya Ibu menelponku pekan ini, padahal biasanya engkau slalu menelponku minamal seminggu 2x, tapi tidak minggu ini, setelah kau tahu bahwa aku telah memulai kerja paruh waktuku.
Seperti yang ibu tahu, pekerjaan ini aku lakukan di tengah-tengah waktu kuliahku. dan aku rasa, aku harus menunda hari-hariku bersama dia yang bernama skrupsi itu, benar ibu, karena kerja paruh waktu ini sangat menyibukkanku. bahkan aku belum sempat menelponmu sejak ku mulai kerja ini. aku minta maaf Ibu.
Begini Bu ceritanya, pekerjaan ini sangat ringan sekali, tugasku hanya menginput nama-nama pelanggan yang mendapatkan tiket mudik gratis nanti menjelang lebaran, dan melayani informasi Promo Mudik Gratis. tapi begini lah bu Jakarta. Ada benarnya orang-orang bilang Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Disini tak ada yang bisa dinikmati dengan cuma-cuma. Katanya Mudik Gratis, tapi tetap saja Bu, Syarat dan Ketentuan Berlaku.. ngomong-ngomong soal mudik aku jadi ingin segera mudik dan bertemu dengan Ibu.
Meski sudah hampir separo umurku hidup di rantauan, aku tetap sering menangis merindukan ibu di Sumtra sana, walau pun kita sering berbincang lewat telpon tapi tetap saja aku merindukan langsung bertemu dengan Ibu, tidur di samping Ibu, dan makan masakan Ibu. Terutama nasi gorang yang biasa ibu sediakan untuk aku, kakak dan adikku saat kami hendak berangkat sekolah dasar dulu. Itu terasa lezat sekali ibu. aku tak bisa mendapatkan rasa nasi goreng seperti itu di Jakarta ini.

Ooh, Ibu..
Aku hampir lupa bahwa seharusnya saat ini aku bercerita tentang Kerja Paruh waktuku padamu..
Ahh sudah lah bu, lupakan saja cerita itu. tak menarik sama sekali untuk diceritakan..
Baiklah bu, lainkali saja aku ceritakan padamu.
Bu, aku akhiri dulu disini obrolan kita yaa..
Karena jam segini aku masih kerja Bu. dan aku harus kembali bekerja..
:)

Jumat, 26 Desember 2014

Sepenggal Kisah dari KKN (Kuliah Kerja Nyata)



Salam Cinta untuk Desa Pabuaran
Desa Pabuaran, Sukamakmur,Bogor, Jawa Barat.
“Tak kenal maka tak sayang” begitu pepatah lama berbicara, dan begitulah saya rasakan di hari pertama dan kedua di desa ini. “bingung” itulah kata yang tepat untuk ungkapkan keadaan di awal tiba.  “Canggung” adanya bila bertemu dengan warga. Namun tugas tetaplah tugas, waktu satu bulan tetap harus dijalani bersama, sesulit apapun mencoba akan terasa biasa saat kita telah menjalaninya. Hari teruslah berganti, satu persatu kegiatan yang telah lama terangkai pun mulai terlaksana. Kedekatanku dengan teman-teman dan anak-anak di desa Pabuaran mulai terasa. Makan bersama, tidur bersama, bercanda gurau bersama dan melakukan program kerja bersama membuat kami semakin mengenal satu sama lain. Semangat kekompakkan mulai terbangun diantara kami. Sehingga semua kegiatan terasa ringan. Sosialisasi dengan warga pun mulai tampak lebih renyah, kehangatan masyarakat  desa pabuaran –khususnya warga desa RW 05- mulai menyentuh kami.

Mengadakan seminar, mengisi kegiatan ekstrakurikuler di setiap sekolah, mengajar anak-anak Sekolah Dasar, mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Taman Kanak-kanak, mengajar mengaji dan memberikan sedikit tambahan pengetahuan bahasa asing untuk anak-anak di desa ini memang merupakan pengabdian sederhana yang dapat kami lakukan, namun bagi kami semua ini memberikan pengalaman yang sangat luar biasa. Kekompakkan dan semangat belajar yang tak pernah pudar sangat tampak di mata setiap individu dari mereka dan tentunya membuat kami semakin tergerak untuk kembali berbagi walau hanya dengan segala keterbatasan kami. Merenovasi kembali MCK, membuat Papan Nama Jalan, mengadakan pelatihan tari saman, marawis, futsal dan memberikan tutorial handicraft dan semua program mulai terealisasikan. Tentu semua ini dapat terlaksnakan karena dukungan dari warga di desa ini.
Memang tak banyak rasanya yang kami berikan untuk desa ini dan tak sebanding dengan apa yang telah mereka berikan kepada kami. Namun saya sangat bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan untuk berpengamalan dan berpengalaman di desa ini. Hal yang tak kalah luar biasa bagi saya adalah menjadi bagian dari kelompok KKN Sukses, bertemu dengan orang-orang yang saling melengkapi satu sama lain, memberikan warna indah dalam hari-hariku dan selalu mengukir kisah-kasih, canda-tawa, sendu dan haru biru di setiap detik yang ku lalui di desa ini. Sholat berjama’ah, rapat kerja, bahu-membahu, begadang ngerjain tugas dan persiapan acara, makan sepiring berdua tiap anggota, piket harian, bangun kesiangan, adu tawa, marah, usil dan jahil bersama, bahagia, suka-duka, nonton tipi sampai larut malam, ngaliweut, tak ada yang kita sembunyikan lagi dari kepribadian kita masing-masing, sudah seperti berada di rumah sendiri (atau mungkin lebih) semuanya kita lalui bersama dan semuanya terasa begitu sempurna, dan hari-hari yang ku lalui penuh warna karena mereka, teman satu kampus yang kemudian satu rumah denganku. Terimakasih kawan, bahagia rasanya telah menjadi bagian dari kalian semua, aku pasti merindukan kalian, merindukan canda-tawa kalian, canda-tawa kita semua dan rengek manja kalian, rengek manja kita semua. Bapak RW Ujang dan Ibu, orang tua kami KKN Sukses, pak Toha, Bu Hajar, Pak Adih, teteh Nik (Uswatun Hasanah), ceu Adah, Abah Haji Iin, bu Ade, Bu Mae, Rini ucapin terimakasih karna telah memberikan kesempatan untuk Rini menimba ilmu di desa ini, tanpa mereka mungkin cerita ini kan berbeda. Sepenggal Cintaku tertinggal di desa ini, Pabuaran tercinta. Mengukir kisah yang tak terlupakan, kenangan, kenyataan dan impian semua seolah berawal kembali dari desa ini. Cinta dan cita menyatu dalam sebuah cerita yang tertulis dalam sejarah KKN Sukses 2014.

                                                                        Jakarta 25 September 2014
Rini Farida

Bersama Sisswa SDN 03 Desa Pabuaran
Pemandangan Desa Pabuaran
Jalan-Jalan Pagi di Desa Pabuaran
Ngaliwet Bersama Pemuda kampung Pabuaran

Poto Bersama Pemerintah Desa Pabuaran
Peringatan HUT RI 69 

Peserta KKN Sukses 2014 bersama Keluarga RW 05


  

  

UKM itu....



Apa sihh yang ada di benak teman-teman saat mendengar Unit Kegiatan Mahasiswa ato UKM?... 

Ummm.... latihan? proposal kegiatan? banyak teman? capek? rapat?.... 
Yaa, betul banget.. UKM itu melelahkan, UKM itu proposal, UKM itu laporan, UKM itu banyak teman tapi UKM itu menyenangkan, banyak kenangan, banyak foto dan banyak  banyak lainnya. Bagi temen-temen yang pernah menyempatkan separuh hidupnya di UKM pasti pernah merasakan hal-hal yang diatas. UKM itu gk hanya melulu menyoal proposal, latian dan laporan tapi UKM itu punya Ruh. Ruhnya itu ada jenis yang pertama adalah Organisasi dan yang kedua adalah skill, dan dari kedua ruh inilah muncul Jati Diri UKM tersebut dan kemudian menjadi ciri-ciri UKM. Pada dasarnya tujuan dari tiap-tiap UKM itu sama namun kemudian jalannya lah yang berbeda.
Berbicara soal UKM secara tak langsung kita telah berbicara tentang seni.
Di sini saya akan mengajak teman-teman tentang salah satu UKM yang ada di Kampus saya, yaitu UKM Bahasa. Dan UKM inilah yang kemudian menjadi bagian dari Jati Diri saya. UKM ini adalah Fakultas kehidupan saya, yang mengajarkan saya tentang Hidup adanya, hidup yang sebenarnya, hidup yang menerima, menerima teman-teman saya sebagai keluarga, menerima lawan bicara saya menjadi teman saya, menerima teman-teman UKM lainnya menjadi tetangga saya. dan lain sebagainya.
Iya, inilah UKM Bahasa-FLAT saya, UKM Bahasa yang tidak hanya mengajarkan saya beberapa Bahasa Asing dan cara berkerja team tetapi juga menjadi manusia yang bagaimana seharusnya, dan untuk selalu jujur. 

Kamis, 25 Desember 2014

Five-Days Java Trip


“FIVE-DAYS JAVA TRIP”
The days before
Awalnya saya hampir tak percaya saat menerima surat undangan untuk mengikuti kunjungan ke Universitas Islam Negeri Malang dari Fakultas. Saya pikir surat tersebut mungkin bukan untuk saya, tetapi ketika membuka dan membaca surat tersebut dengan seksama ternyata benar nama saya ada di sana. Beberapa hari kemudian saya mendatangi ruang akademik yang ada di lantai 4 gedung Fakultas Ushuluddin dan memastikan kebenaran kegiatan kunjungan yang diberitakan dalam surat yang saya terima, dan ternyata benar Fakultas Ushuluddin akan melaksanakan kunjungan ke UIN Maliki Malang. Ada rasa haru, bangga dan bahagia ketika itu, namun pada saat saya lihat kembali daftar nama-nama peserta yang mengikuti kegiatan tersebut saya sedikit merasa ragu karena hanya ada dua nama mahasiswa yang saya kenali di sana yaitu Rini Fatmawati dan Ardi. Bahkan teman seangkatan saya pun tak ada di sana. Tapi langsung ku tepis rasa ragu tersebut, tak peduli dengan siapa saya berangkat ke sana selama masih bersama orang tua (dosen-dosen) saya percaya saya tak akan tersesat dan disesatkan. Bahkan saat saya cerita kepada teman terdekat saya dia berkata “gapapa, Rin, ikut aja. Lagian kapan lagi coba bisa jalan-jalan gratis ke Jawa.”katanya sambil tertawa geli selepas ia membaca surat undangan tersebut, “untuk masalah kuliah dan kegiatan FLAT, kamu tinggalin aja dulu, kan bisa izin to?!” lanjutnya. Yang memang pada saat itu saya sedang bingung untuk meninggalkan kuliah dan kegiatan UKM Bahasa-FLAT. Singkat cerita saya ikuti saran darinya dan langsung mengurusi perizinan kuliah serta kegiatan FLAT. Malam hari sebelum pemberangkatan saya pun telah menyiapkan segala perlengkapan yang akan saya bawa selama mengikuti Kunjungan ini.
Day One
Sekitar Pukul 06.47 saya tiba di kampus 1 UIN Jakarta. Pada saat itu disana sudah ada Pak Surya, Bu Halimah, Bu Banun dan Bu Nadroh serta beberapa Mahasiswa. Beberapa lama kemudian satu persatu peserta pun mendekati bus dan mulai memenuhi kursi masing-masing. Kurang lebih satu setengah jam kemudian Bus pun berangkat seusai mendengarkan beberapa patah kata sambutan dan pengumuman dari Bu Halimah selaku Penanggung Jawab kegiatan kunjungan dan beberapa informasi dari Pak Andi selaku kru bus Pariwisata yang kami tumpangi serta Doa yang dipimpin oleh Bapak Suryadinata, Wakil Dekan Bidang Administrasi Fakultas Ushuluddin.
 Day two
Jakarta-Malang memakan waktu kurang-lebih 24 Jam perjalanan dan sejauh sekitar ±800 Km. Kami tiba di Malang sekitar pukul 9 pagi. Setelah bersiap membersihkan badan kami langsung menuju kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Di sana pihak dari Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) telah mempersiapkan ruangan dan beberapa persiapan lainnya untuk acara kunjungan kami. Kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak LPM UIN Maliki diadakan di ruang serbaguna Perpustakaan Utama Kampus. Kegiatan ini berupa presentasi yang disampaikan oleh pihak LPM yaitu Bpk. Alfin Mustikawan dan diskusi bersama. Bagi saya ada hal yang menarik dari presentasi yang disampaikan oleh bapak Alfin mengenai Pohon Ilmu yang menjadi landasan dasar UIN Maliki Malang. Pohon Ilmu tersebut menjelaskan beberapa mata ilmu pengetahuan pokok yang menjadi acuan dan simbol Universitas tersebut. Selain itu pula sistem pendidikan, yang menurut saya, sangat mendukung perkuliahan, yaitu mahasiswa tahun pertama wajib tinggal di ma’had Universitas yang didesain khusus untuk memperkuat bekal-bekal pengetahuan keislaman dan penguatan bahasa asing. Yang mana dua komponen tersebut (penguatan keislaman dan bahasa asing) adalah bekal pokok yang harus dimiliki oleh mahasiswa manapun khususnya mahasiswa/i Universitas Islam.
 Ba’da solat jum’at dan solat dzuhur kami melanjutkan kunjungan ke Pusat Ma’had Al-Jami’ah yang masih berada di sekitar kampus UIN Maliki. Di sini kami disambut oleh Mudirul Ma’had nya dan beliau menyampaikan beberapa poin yang penting yang dapat saya catat antara lain:
Pusat Ma’had Al-Jami’ah didirikan sejak tahun 1997/1998
Seluruh mahasiswa/i tahun pertama harus tinggal di Pusat Ma’had Al-Jami’ah
Mudirul Ma’had (Pemimpin Ma’had) setara dengan Dekan Fakultas
Semua pengasuh Ma’had berbasis pernah Pesantren
Seluruh sarana prasarana pengasuh ma’had dan keperluan ma’had dibiayai oleh Kampus.
1 Pengasuh Pengasuh Ma’had mengasuh sebanyak 1 gedung mahasantri.
1 pengasuh memiliki murabbi (assisten pengasuh) ma’had.
1 murabbi asrama memiliki musyrif/musyrifah yang mengepalai 16 Mahasantri.
Setiap hari mahasantri wajib mengikuti perkuliahan bahasa asing terhitung sejak pukul 14.00 s.d 20.00 WIB
Setiap Mahasantri wajib mengikuti perkuliahan di kampus
Setiap mahasantri wajib mengikuti kegiatan solat berjama’ah
Setiap mahasantri wajib mengikuti kegiatan ba’da sholat subuh berupa shobahul Lughoh, English Morning, Fiqh, dan Kuliah Akhlaq sesuai jadwal dan kelasnya masing-masing. Dan tahfidzul qur’an untuk mendapatkan Syahadah (sertifikasi hapalan al-quran).
Bagi Mahasantri yang sudah memiliki dasar-dasar keislaman yang sudah mumpuni akan digabungan dalam kelas diskusi intermadzhab dengan mahasiswa asing.

Demikian adalah rangkuman penjelasan yang saya dapatkan dari Kiayi atau Mudir Pusat Ma’had Al-Jami’ah. Selepas poto bersama kami berpamitan kepada pihak kampus dan melanjutkan perjalanan menuju masjid Tiban yang berada di desa Turen, Malang. Konon masjid ini katanya memiliki mistis yang cukup kuat yaitu pembangunannya dibantu oleh makhluk sejenis makhluk ghaib, karena Masjid sebesar ini berada di sebuah desa yang terpencil dan melalui jalan yang relatif sempit. Wallahu a’lam.

 Day three
Setelah satu malam penuh berisitirahat di sebuah penginapan dan sarapan kami melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata Air Terjun Coban Rondo. Menurut cerita air terjun Coban Rondo adalah tempat persembunyian Dewi Anjarwati saat suaminya berkelahi dengan Jaka Lelono yang hendak rebut Dewi Anjarwati. Namun malang tak dapat ditolak suami Dewi Anjarwati dan Joko Lelono meninggal saat perkelahian tersebut sehingga Dewi Anjarwati menjadi Janda dan tinggal sendiri di sebuah batu di bawah air terjun. Itulah mengapa wisata air terjun tersebut dikenal dengan coban rondo yang dalam bahasa Indonesianya adalah Air Terjun Janda.
Setelah menikmati wisata air terjun kami berangkat menuju Goa Maria yang terletak di daerah Poh Sarang, Kediri. Goa Maria merupakan sebuah nama tempat penziarahan umat Katholik yang dibangun masa Belanda, menurut petugas Goa Maria dibangun sejak jaman Belanda. Goa Maria menjadi sebuah tempat penziarahan yang ramai dikunjungi oleh umat Katholik. Luas lokasi Goa Maria kurang lebih 1,3 hektar, yang terdiri dari sebuah Gereja, tempat pemakaman umat Katholik, tempat pemakaman para Rabi dan Tokoh Agama Katholik, sebuah Goa yang terdapat Patung Bunda Maria, Tempat Altar, Jalan Salib dan beberapa toko-toko penjualan souvenir nuansa Katholik.
Gua Maria Pohsarang sering juga disebut Puhsarang, atau yang dikenal juga dengan nama Gua Maria Lourdes Pohsarang, terletak di kompleks Gereja Pohsarang di desa Pohsarang, kecamatan Semen, Kediri, sekitar 10 km arah barat daya kota Kediri. Pada kompleks gereja yang lama terdapat miniatur Gua Maria Lourdes yang dikemudian hari oleh karena terlalu kecil bentuknya maka pada tanggal 11 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gua Lourdes yang merupakan tiruan atau replika Gua Maria Lourdes yang ada di Perancis. Dinamakan Gua Maria Lourdes sebab dalam gereja yang lama terdapat tiruan Gua Lourdes di Prancis, dalam bentuk yang kecil. Di seputar patung yang kecil dalam gua pertama tertulis tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa ejaan Belanda : Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, doakanlah aku yang datang berlindung kepadaMu). Gua kecil yang berada di sebelah kanan Gereja ini merupakan sebuah gua yang banyak didatangi oleh bukan hanya umat Katolik untuk berdoa rosario atau novena, melainkan juga oleh umat lain yang bukan Katolik untuk melakukan meditasi dan memohon ujub kepada Tuhan yang Maha pemurah. (wikipedia) Menurut seorang umat gereja, bentuk atap tersebut menyimbolkan bahtera Nabi Nuh yang terdampar di Gunung Ararat berdasarkan kisah Alkitab pada Perjanjian Lama.
Selain Goa di sana juga ada beberapa Bukit Salib Golgota yaitu tempat devosi jalan salib. Umat Katolik sangat menyukai renungan atas sengsara Yesus melalui devosi jalan salib tersebut. Salib Golgota selesai dibangun pada tahun 2000 sebagai pelengkap sarana berdoa bagi para peziarah. Patung–patung pada setiap stasi dibuat dengan ukuran hampir menyerupai orang dewasa. Jalan Salib adalah sebuah jalan sejarah yang menggambarkan kisah penyaliban Yesus. Jalan Salib ini terdapat 15 posko dan tiap-tiap poskonya terdapat patung ilustrasi perjalanan Yesus menjelang disalib, penyaiban sampai penguburan Yesus. Umat yang beribadah di sini akan melewati posko-posko tersebut secara beraturan mulai dari posko pertama saat Yesus sedang diadili hingga, hingga posko ke 15 yaitu Yesus disemayamkan. Di setiap posko Umat yang berziarah melantunkan doa-doa dan pujian-pujian yang disanjungkan kepada Yesus.
Selepas mengunjungi tempat penziarahan Goa Maria kami singgah ke sebuah pondok pesantren yang cukup populer di Indonesia yaitu Pesantren Lirboyo. Di pesantren ini kami beristirahat sejenak sambil berbincangbincang dengan Ibu nyai Pengasuh Pondok ini. Dan ba’da Magrib kami melanjutkan perjalanan menuju Jogja, kota wisata, kota pendidikkan.
Day Four
Satu malam penuh perjalanan Kediri-Malang. Kami tiba di Jogjakarta sekitar pukul 3 dini hari. Setelah sarapan dan membersihkan diri, bersama bus pariwisata yang kami tumpangi kami mengelilingi kota Yogyakarta, ke beberapa tempat wisata dan tempat-tempat pendidikan yang ada di sana. Sekitar pukul 10 kami menuju pantai yang cukup terkenal di sana yaitu Pantai Parang Tritis.. hmmm... pagi sekali sudah menghirup udara lautan itu rasanya sangat segar. beberapa teman dari kami mandi dan berenang di tepi pandai, mereka sepertinya tak ingin melewatkan momen seru ini.  
Menjelang sore kami berangkat menuju sebuah pesantren. Yaitu pesantren Pandanaran dan STAISPA (sekolah tinggi agama islam Pandanaran). Di pesantren ini kami berdiskusi banyak tentang lingkungan pesantren dan sekolah tinggi di sini. Sekolah Tinggi Agama Islam Pandaran merupakan Sekolah tinggi yang berbasis pesantren, sekolah tinggi ini ada dua jurusan yaitu Jurusan Tafsir dan Tasawuf. Setelah bersilaturahmi di pesantren ini kami melanjutkan perjalanan dan berkeliling kota Jogja. Malam hari sekitar pukul 20.00 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Dan bersiap-siap Say Good-Bye to Jogjakarta.

 Day Five
Perjalanan Jogja-Jakarta memakan waktu kurang lebih 15 s.d 17 Jam. Perjalanan yang cukup melelahkan namun sangat berkesan. Pukul 14.15 WIB  kami tiba di kampus 1 UIN Syahid Jakarta. Rasa lelah perjalanan selama lima hari telah terbayar saat itu juga ketika saya menghirup udara Ciputat. Walau penuh polusi tentu Ciputat tetap menyisakan rindu selama lima hari berkeliling tanah  Jawa. Rindu pada teman-teman kuliah, teman-teman asrama dan suasana UIN Jakarta yang semraut. Tentu Lima Hari Berkeliling Tanah Jawa merupakan pengalaman yang luar biasa bagi saya, sebab selain bisa merasakan jalan-jalan gratis, saya mendapatkan begitu banyak pengalaman, banyak pengetahuan, dan banyak teman. Ka Lina, Bang Eka, teh Nurul, Kak Anis, Ka Lail, Kak Agung, Ka Bahar, Fauzan, Lina, Handoko, Rini Fatmawati, Laili, Rindi, Najib, aduuh siapa lagi yaa.. Bu Halimah, Bu Tien, Bu Ati, Bu Lilik, Bu Herma, Bu Nadroh, Pak Surya, Pak Masri, Pak Andi dan semuaa deehhh....

Senin, 22 Desember 2014

Hari Raya Galungan


HARI RAYA GALUNGAN

                A.  Arti Galungan
Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu pemujaan terjadinya kemenangan kebenaran atas ketidakbenaran dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan diadakan kira 210 hari sekali pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan.
Galungan merupakan hari Pewedalan jagat, yaitu hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Persembahan dan pemujaan terhadap Sang Hyang widhi dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh kesucian guna memohon kebahagiaan hidup dan agar dapat menjauhkan diri dari Awidya atau kegelapan. Serta merayakan kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (adharma). Sebagai ucapan syukur, umat Hindu memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Batara (dengan segala manifestasinya).
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang mempunyai arti “menang” Galungan mempunyai arti yang sama juga dengan “Dungulan”, yang juga berarti menang. Oleh karena itu di Jawa, wuku yang ke 11 disebut “Wuku Galungan” dan di Bali disebut dengan “Wuku Dungulan”. Kedua nama itu berbeda namun artinya tetap sama.
B. Sejarah dan Mitologi Hari Raya Galungan
Asal usul Hari Raya Galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan, oleh siapa dan di mana. Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku mantan dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI memperkirakan Hari Raya Galungan sudah dalam dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali. Namun menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.” Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Manusia dilahirkan dalam keadaan Awidya atau kegelapan, yaitu sifat nafsu murka, irihati, congkak, angkara. Semua sifat ini disimbulkan sebagai Sang Kala Tiga, yang diberi gelar yaitu: Pertama, Sang Bhuta Galungan yang berusaha menyerang dan menggoda kita pada hari Minggu atau Penyekeban. Yang Kedua, yaitu Sang Bhuta Dungulan, yang berusaha menyerang atau menggoda kita pada hari Senin atau Penyajaan. Dan yang Ketiga, adalah Sang Bhuta Amangkurat, yang berusaha menyerang kita pada hari Selasa atau hari Penampahan Galungan. Dan kita juga berusaha lebih kuat lagi untuk mengalahkan godaan-godaan itu. Dan kesadaran umat akan kekuatan suci dibangun dengan "Abhayakala" yaitu melakukan upacara Penyucian diri dari kegelapan atau kala tiga itu. Yang bertujuan untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh Sang Kala Tiga. Dan untuk mengharmoniskan kesejahteraan bhuwana agung dan bhuwana alit
Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi (kalender yang biasa kita pakai). Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan. Jarak antara Galungan dan Kuningan sendiri ialah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan atau kelepasan. Sedangkan untuk mencapai kemerdekaan, pada umumnya didahului oleh suatu pertempuran atau peperangan dan pertarungan. Galungan sempat di hentikan perayaannya pada masa raja Sri Ekajaya (tahun Saka 1103) dan raja Sri Dhanadi. Namun saat Galungan dihentikan perayaannya banyak terjadi musibah dan malapetaka yang menimpa Bali, saat itu banyak pejabat pejabat wafat diusia yang relatif masih muda. Saat raja Sri Dhanadi mangkat dan digantikan raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali setelah beberapa puluh tahun tidak dirayakan.
Cerita ini semua dipaparkan dalam Lontar Sri Jayakasunu yang bercerita tentang kegundahan raja Sri Jayakasunu yang merasa heran, karena banyak pejabat pejabat meninggal saat usia muda, oleh sebab itu kemudian Raja Sri Jayakasunu melakuakan semedhi tapa brata dan mendekatkan diri dengan para Dewata, tapa brata dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan gaib ( pawisik ) yang berasal dari dewi Durgha. Dalam bisikan gaib ( pawisik ) itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Dewi Durgha meminta kepada raja Sri Jayakasunu untuk kembali mengadakan perayaan Galungan pada setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Lalu dewi Durgha juga meminta raja Sri Jayakasunu dan rakyatnya untuk memasang “penjor” Penjor sendiri mempunyai makna ungkapan rasa terima kasih atas kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpahkan ruah dari Hyang Widhi wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ). Penjor adalah Bambu yang menjulang tinggi dan melekung ini diibaratkan sebagai gambaran gunung agung tempat suci para dewa bersemayam. Penjor ini dihiasi dan terdiri dari kelapa ,pisang, tebu, padi, dan kain.ini semua adalah perwakilan dari seluruh tumbuhan sandang dan pangan.
Ada dua mitologi yang dihubungkan dengan perayaan Galungan dan Kuningan sekaligus dengan peperangannya untuk mencapai kemenangan atau kemerdekaan. Kedua mitologi itu adalah peperangan antara raja Mayadanawa melawan Bhatara Indra dan pewarah-warah Bhatari Durga kepada Sri Jaya Kasunu. Dalam Lontar Jaya Kasunu diceritakan bahwa sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Galungan dan Kuningan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Jaya Kasunu naik tahta dan juga setelah mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan dan Kuningan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan "tidak ada Galungan buwung" atau tidak ada Galungan batal. Sejak itu mulailah kehidupan rakyat menjadi bahagia dan sejahtera serta mendapat umur panjang. Sedangkan pada versi ceritra lainnya, Galungan dihubungkan dengan kekalahan raja Mayadanawa oleh Bhatara Indra. 
Raja yang serakah, sombong dan angkuh, yang tidak percaya akan kemahakuasaan Tuhan, yang menyuruh rakyatnya menyembah dirinya. Karena dirinya yang paling berkuasa dan diidentikkan dirinya dengan Tuhan yang berkuasa. Akhirnya peperanganpun terjadi, raja Mayadanawa tak berkutik oleh kekuatan dan kehebatan Bhatara Indra. Sehingga kemenangan Bhatara Indra atas peperangan itu yang dihubungkan dengan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan. Dengan demikian Galungan dan Kuningan merupakan simbul hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Karena itu pengendalian diri sangatlah diperlukan.

                C.  Perayaan Hari Raya Galungan
                   *Persiapan Sebelum Perayaan Hari Raya Galungan

Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan.  Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti
Bubuh putih untuk umbi-umbian
Bubuh bang untuk padang-padangan
Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap:
“Dadong- Dadong I Pekak anak kija
 I Pekak ye gelem
I Pekak gelem apa dong?
I Pekak gelem nged
Nged, nged, nged”
Dialog diatas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera      berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini   merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugian
Sugihan ini berarti penyucian yaitu penyucian terhadap Pura dan alat-alat sembahyang. Pura dibersihkan dan disucikan serta dihiasi dengan warna warna yang cerah. Dalam kepercayaan Hindu selain mempercantik Pura, warna warni hiasan Pura juga memiliki makna yang dalam.
Panambah
Satu hari sebelum Galungan yaitu pada hari selasa, diadakan juga Upacara pembersihan diri dan hari ini dinamakan hari Anggara Wage Dungulan atau hari Penampahan di mana segala nafsu harus dihilangkan dan semua sifat manusia yang tidak baik di tinggalkan untuk menyambut hari Galungan esok hari dengan hati yang bersih dan suci lagi. 
Merangkai Penjor 
Perayaan Hari Raya Galungan identik dengan Penjor yang dipasang di tepi jalan, yang terdiri dari janur, buah bahan dan umbi-umbian. Penjor ini dipasang sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karuniaNya yang berlimbah.
Penjor dilengkapi dengan Paluh Bungkah yaitu terdiri dari Umbi-umbian seperti ketela, daun-daunan, kelapa dan tebu, Paluh Gantung yaitu terdiri dari buah-buahan. Di bagian ujung Penjor digantung hiasan bunga, dan rangkaian janur. Dirangkai di sebatang pohon bambu yang tingginya kurang lebih 10 meter dan dipasang di sepanjang jalan raya. Terkadang kegiatan merangkai Penjor ini diperlombakan untuk menambah semangat kreativitas masyarakat Hindu dalam perayaan Galungan. Dan Penjor-penjor tersebut dipasang hingga Hari Raya Kuningan.
Persiapan banten/sesajin 
Seperti pada umumnya sembahyang di Pura, umat Hindu selalu mempersiapkan sesajian atau banten yang akan dipersembahkan kepada para dewa dan para pendahulu. Sesajian ini telah dipersiapan sejak sehari sebelum sembahyang upacara Galungan dilaksanakan. Sesajian terdiri dari buah buahan segar, kembang-kembang yang semerbak wanginya, dan beberapa makanan. Sesajian ini dirangkai seindah dan sebaik mungkin dengan janur dan dedaunan. Selain itu umat hindu juga tidak lupa menyiapkan dupa, sebagai alat yang akan menyampaikan doa-doa dan puja yang dibacakan.
Memotong Kurban
Memotong kurban dilaksanakan sehari sebelum upacara galungan dilaksanakan, yaitu dengan memotong kurban. Makna dari kegiatan ini adalah memotong atau menghilangkan segala sikap tidak baik pada diri manusia yang disimbolkan dengan hewan. Kemudian hewan yang dikurbankan ini dipersembahkan kepada Budakala untuk mendapatkan ketenangan dalam melaksanakan sembahyang dan upacara Galungan.

2.    Hari Raya Galungan
 
Sembahyang
Pada pagi hari Raya umat Hindu berbondong-bondong menuju Pura Desa, mulai dari anak-anak, pemuda, dewasa hingga orang tua dengan mengenakan baju putih atau baju adat Bali. dan tak lupa mengikatkan sebuah kain yang disebut cetang yang dililitkan di pinggang. Bagi laki-laki umumnya memakai ikat kepala. Para wanita membawa sesajian yang akan diletakkan di Pura sebagai persembahan. Sebelum sembahyang dimulai, pemangku membacakan mantra-mantra sambil membunyikan lonceng dan memercikkan air suci pada sesajian.
Setelah selesai membacakan mantra-mantra dan doa, umat Hindu secara berjaaah melaksanakan sembahyang yang dipimpin oleh pemangku. Tahapan pertama yaitu dengan mengambil beberapa sikap tubuh sesuai perintah pemangku seperti Sikap Hasana, Peyanama, Kara Sedama, Mustikarana. Kemudian dilanjutkan dengan Krama Ning Sembah yaitu yang pertama sembah tangan kosong, selanjutnya sembah kembang ditujukan kepada Raditya, kemudian sembah kembang yang kedua ditujukan kepada leluhur, sembah kyangen kembang yang diasapi dengan dupa kemudian kembang tersebut diselipkan kedalam rambut, dan yang terakhir yaitu sembah tangan kosong yang diasapi dengan dupa dan ditutup dengan Puja Paranu. Setelah sembahyang selesai para umat mendengarkan beberapa nasehat legenda Galunagn yang disampaikan oleh Pemangku Pura. Sembahyang ini dapat dilaksanakan sejak pagi sampai malam hari. 


Mengarak Barong
Tradisi Ngelawang yaitu sejumlah orang yang biasanya anak anak kecil dan anak muda yang menampilkan tarian Barong di sepanjang jalan dan bagi yang menyaksikan akan memberikan upah kepada mereka. Masyarakat Hindu meyakini bahwa tradisi ini sebagai penolak datangnya pengaruh jahat. Akan tetapi ada juga tradisi mengarak Barong dari Pura ke Pura lainnya oleh umat Hindu yang diringi dengan musik khas Bali. Barong ini disimbolkan sebagai Dewa yang membawa seluruh kebaikan dan menghapus kejahatan. Dan Barong juga diyakini sebagai pelindung.
Memunjung
Tradisi mengunjung juga dilaksanakan oleh sebagian umat Hindu. Yaitu mereka mengunjungi pusara/makam sanak-kerabat mereka yang belum dilaksanakan upacara ngaben, dengan mengantarkan sesajian, mantra dan doa-doa. Kegiatan ini merupakan wujud berbagi kepada sanak-kerabat meskipun mereka telah tiada.

3.    Setelah Hari Galungan
Pada esok harinya setelah Galungan pada hari kamis seluruh masyarakat bali yang beragaman hindu bersama sama menikmati sisa sajian dan melakukan pensucian dan sembahyang di rumah masing masing pada saat fajar menyingsing dengan air wangi (kumkuman) dan air suci (tirtha). Lalu saling berkunjung dan mendoakan keselamatan.
Pada hari berikutnya dinamakan hari “Sabtu Pon Dungulan” yang juga disebut hari Pemaridan Guru. Hari ini melambangkan kembali nya dewata ke sorga dan meninggalkan anugrah hidup sehat dan panjang umur (kadirghayusaan). Dihari ini seluruh umat dianjurkan untuk menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara ini mengandung makna umat dapat menikmati Waranugraha Dewata.
4.    Hari Raya Kuningan
Selanjutnya yaitu hari “Jumat Wage Kuningan” juga disebut hari Penampahan Kuningan.. Dihari ini dianjurkan untuk melakukan kegiatan rohani yang disebut juga dengan “sapuhakena malaning jnyana”, yaitu menghilangkan pikiran pikiran yang tidak baik dalam diri kita. Pada keesokan harinya, “Sabtu Kliwon” disebut juga hari “Kuningan” yaitu 10 hari setelah upacara Galungan. Pada saat upacara dan memberikan sesajian hendaknya dilaksanakan pada pagi hari karena saat tengah hari para dewata sudah kembali ke surga Saat ini Galungan diperingati dengan meriah oleh seluruh umat hindu di bali dengan mengadakan Upacara dan bazar yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Bali.

D. Makna dari Hari Raya Galungan
Perang melawan musuh didalam diri sendiri sangatlah diutamakan. Musuh-musuh yang disebut seperti: sad ripu, sapta timira, catur mada, dan yang lainnya. Jika sifat-sifat seperti ini tidak dikendalikan akan menjadi sifat keraksasaan atau menjadi sifat Bhuta kala, yang berwujud merusak, mabuk, sombong, bengis, kejam, nafsu keangkara murkaan, keserakahan, pemarah, merasa diri memegang kekuasaan, merasa diri paling pintar, pandai atau berilmu, yang semestinya diarahkan atau diabdikan pada pembentukan masyarakat Dharmika yang tata tentram kertha raharja dan sebagainya. Galungan yang dirayakan pada setiap hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, di samping merupakan peringatan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan), juga bahwa Galungan tersebut merupakan peringatan bagi kita, agar kita selalu sadar dan waspada terhadap usaha Sad Ripu dan berbagai nafsu yang tergolong jahat yang digambarkan sebagai tiga Bhuta Kala agar manusia terhindar dan bahkan dapat mengendalikannya.
Kitab Suci Weda memberikan isyarat kepada manusia agar selalu sadar dan waspada kepada ripu-ripu yang ada di dalam diri kita itu. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :
 “Bagi yang punya disiplin terhadap indriyanya, bergerak diantara semua obyek panca indriyanya, tetapi tidak berpengaruh olehnya, malah menguasainya dengan Atmannya, ia menjalani kehidupân yang damai”. (Bh. G. II. 64)
 “Ia yang mampu bertahan di dunia ini dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkurig oleh nafsu dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkung oleh nafsu dan kemarahan dan malah bisa menyelaraskan keduanya itu, ia adalah orang yang bahagia sejati. Kedamaian yang abadi bersemayam pada mereka yang tahu siapa diri mereka, dan dapat bebas dan rasa nafsu dan marah, mereka bersifat damai dan berpikiran damai”. (Bh. G. V. 23, 26 )
 “Pintu mereka ada tiga buah yang menyebabkan kehancuran diri, yaitu hawa nafsu, kebencian dan kelobhaan; hendaknya engkau (manusia) menghindari ketiga sifat ini”. (Bh. G. XVII.21)
Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan tujuan hidup itu dalam ajaran agama Hindu direalisasikan melalui ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari Dharma/Kebenaran, Artha/harta benda untuk mensejahterakan kehidupannya, kama/keinginan atau nafsu dan moksa yang merupakan tujuan akhir dari hidup manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu dapat kita klasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan secara duniawi dan tujuan secara rohani. Dalam hal ini keempat tujuan itu merupakan satu kesatuan dan selalu ditunjang oleh Dharma. Harta yang diperlukan untuk menunjang kehidupan, jika diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka harta itu tidak akan berarti, demikian juga halnya dengan kama, dan Dharma pulalah yang menjadi landasan hidup untuk mencapai moksa yang merupakan kemerdekaan atau kelepasan/terbebasnya manusia dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan atau kelepasan.
Dengan memohon pembersihan dan pensucian dari Hyang Widhi Melalui upacara. Dan upacara ini diakhiri dengan "ngayab dan natab". yaitu menghaturkan dan memohon bersama-sama agar dilimpahkan karunia berupa keselamatan untuk semua anggota keluarga, agar kemudian lebih dapat meningkatkan kesatuan pribadinya serta mampu menaklukkan dan menguasai segala macam godaan, baik yang datang dari luar maupun yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Hal inilah yang disebut dengan kemenangan Dharma Melawan Adharma. (I Made Murdiasa, S.Ag/ http://okanila.brinkster.net/mediaFull.diaksespada12desember2014 )

E.     Sumber :