HARI RAYA GALUNGAN
A. Arti Galungan
Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan
Adharma yaitu pemujaan terjadinya kemenangan kebenaran atas ketidakbenaran
dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan diadakan kira 210 hari sekali pada
hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan.
Galungan merupakan hari Pewedalan jagat, yaitu hari di mana umat Hindu
memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Persembahan dan pemujaan terhadap Sang Hyang
widhi dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh kesucian guna memohon
kebahagiaan hidup dan agar dapat menjauhkan diri dari Awidya atau kegelapan. Serta merayakan kemenangan kebaikan
(Dharma) melawan kejahatan (adharma). Sebagai ucapan syukur, umat Hindu memberi
dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Batara (dengan segala
manifestasinya).
Kata "Galungan" berasal dari bahasa
Jawa Kuno yang mempunyai arti “menang” Galungan mempunyai arti yang sama juga
dengan “Dungulan”, yang juga berarti menang. Oleh karena itu di Jawa, wuku yang
ke 11 disebut “Wuku Galungan” dan di Bali disebut dengan “Wuku Dungulan”. Kedua
nama itu berbeda namun artinya tetap sama.
B. Sejarah dan
Mitologi Hari Raya Galungan
Asal usul Hari
Raya Galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan,
oleh siapa dan di mana. Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku
mantan dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI memperkirakan Hari
Raya Galungan sudah dalam dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia
sebelum populer di Pulau Bali. Namun menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari
Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon
Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi: “Punang
aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari
Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan
sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra
Loka.” Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab
pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan Awidya atau kegelapan, yaitu sifat nafsu murka,
irihati, congkak, angkara. Semua sifat ini disimbulkan sebagai Sang Kala Tiga,
yang diberi gelar yaitu: Pertama, Sang Bhuta Galungan yang berusaha menyerang
dan menggoda kita pada hari Minggu atau Penyekeban. Yang Kedua, yaitu Sang
Bhuta Dungulan, yang berusaha menyerang atau menggoda kita pada hari Senin atau
Penyajaan. Dan yang Ketiga, adalah Sang Bhuta Amangkurat, yang berusaha
menyerang kita pada hari Selasa atau hari Penampahan Galungan. Dan kita juga
berusaha lebih kuat lagi untuk mengalahkan godaan-godaan itu. Dan kesadaran
umat akan kekuatan suci dibangun dengan "Abhayakala" yaitu melakukan
upacara Penyucian diri dari kegelapan atau kala tiga itu. Yang bertujuan untuk
membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh Sang Kala Tiga. Dan untuk
mengharmoniskan kesejahteraan bhuwana agung dan bhuwana alit
Galungan dan
Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi (kalender
yang biasa kita pakai). Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan. Jarak antara Galungan dan Kuningan
sendiri ialah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut
berdasarkan kalender Bali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk
mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam
pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan
atau kelepasan. Sedangkan untuk mencapai kemerdekaan, pada umumnya didahului
oleh suatu pertempuran atau peperangan dan pertarungan. Galungan sempat di hentikan
perayaannya pada masa raja Sri Ekajaya (tahun Saka 1103) dan raja Sri Dhanadi.
Namun saat Galungan dihentikan perayaannya banyak terjadi musibah dan
malapetaka yang menimpa Bali, saat itu banyak pejabat pejabat wafat diusia yang
relatif masih muda. Saat raja Sri Dhanadi mangkat dan digantikan raja Sri
Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali setelah
beberapa puluh tahun tidak dirayakan.
Cerita ini
semua dipaparkan dalam Lontar Sri Jayakasunu yang bercerita tentang kegundahan
raja Sri Jayakasunu yang merasa heran, karena banyak pejabat pejabat meninggal
saat usia muda, oleh sebab itu kemudian Raja Sri Jayakasunu melakuakan semedhi
tapa brata dan mendekatkan diri dengan para Dewata, tapa brata dilakukan di
Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata
raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan gaib ( pawisik ) yang berasal dari dewi
Durgha. Dalam bisikan gaib ( pawisik ) itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja
bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Dewi Durgha meminta kepada raja Sri Jayakasunu untuk kembali mengadakan
perayaan Galungan pada setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang
pernah berlaku. Lalu dewi Durgha juga meminta raja Sri Jayakasunu dan rakyatnya
untuk memasang “penjor” Penjor sendiri mempunyai makna ungkapan rasa terima
kasih atas kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpahkan ruah dari Hyang Widhi
wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ). Penjor adalah Bambu yang menjulang tinggi dan
melekung ini diibaratkan sebagai gambaran gunung agung tempat suci para dewa
bersemayam. Penjor ini dihiasi dan terdiri dari kelapa ,pisang, tebu, padi, dan
kain.ini semua adalah perwakilan dari seluruh tumbuhan sandang dan pangan.
Ada dua
mitologi yang dihubungkan dengan perayaan Galungan dan Kuningan sekaligus
dengan peperangannya untuk mencapai kemenangan atau kemerdekaan. Kedua mitologi
itu adalah peperangan antara raja Mayadanawa melawan Bhatara Indra dan
pewarah-warah Bhatari Durga kepada Sri Jaya Kasunu. Dalam Lontar Jaya
Kasunu diceritakan bahwa sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan
Galungan dan Kuningan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena raja-raja pada
jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat
pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Jaya Kasunu naik tahta dan juga setelah
mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan
dan Kuningan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan "tidak ada Galungan
buwung" atau tidak ada Galungan batal. Sejak itu mulailah kehidupan rakyat
menjadi bahagia dan sejahtera serta mendapat umur panjang. Sedangkan pada versi
ceritra lainnya, Galungan dihubungkan dengan kekalahan raja Mayadanawa oleh Bhatara
Indra.
Raja yang
serakah, sombong dan angkuh, yang tidak percaya akan kemahakuasaan Tuhan, yang
menyuruh rakyatnya menyembah dirinya. Karena dirinya yang paling berkuasa dan
diidentikkan dirinya dengan Tuhan yang berkuasa. Akhirnya peperanganpun
terjadi, raja Mayadanawa tak berkutik oleh kekuatan dan kehebatan Bhatara
Indra. Sehingga kemenangan Bhatara Indra atas peperangan itu yang dihubungkan
dengan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan. Dengan demikian Galungan dan
Kuningan merupakan simbul hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Karena itu
pengendalian diri sangatlah diperlukan.
C. Perayaan Hari Raya Galungan
*Persiapan Sebelum Perayaan Hari Raya Galungan
Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek
Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum
Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang
Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun
tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten
(sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti
Bubuh putih untuk umbi-umbian
Bubuh bang untuk padang-padangan
Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak
secara generatif
Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif
Pada
hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci
yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi
disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai
kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil
berucap:
“Dadong-
Dadong I Pekak anak kija
I
Pekak ye gelem
I Pekak
gelem apa dong?
I Pekak
gelem nged
Nged,
nged, nged”
Dialog diatas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang
diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk
upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih
manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugian
Sugihan ini berarti penyucian yaitu penyucian terhadap Pura dan alat-alat
sembahyang. Pura dibersihkan dan disucikan serta dihiasi dengan warna warna
yang cerah. Dalam kepercayaan Hindu selain mempercantik Pura, warna warni
hiasan Pura juga memiliki makna yang dalam.
Panambah
Satu hari sebelum Galungan yaitu pada hari selasa,
diadakan juga Upacara pembersihan diri dan hari ini dinamakan hari Anggara Wage
Dungulan atau hari Penampahan di mana segala nafsu harus dihilangkan dan semua
sifat manusia yang tidak baik di tinggalkan untuk menyambut hari Galungan esok
hari dengan hati yang bersih dan suci lagi.
Merangkai Penjor
Perayaan Hari Raya Galungan identik dengan Penjor yang
dipasang di tepi jalan, yang terdiri dari janur, buah bahan dan umbi-umbian.
Penjor ini dipasang sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas
segala karuniaNya yang berlimbah.
Penjor dilengkapi dengan Paluh Bungkah yaitu terdiri dari
Umbi-umbian seperti ketela, daun-daunan, kelapa dan tebu, Paluh Gantung yaitu
terdiri dari buah-buahan. Di bagian ujung Penjor digantung hiasan bunga, dan
rangkaian janur. Dirangkai di sebatang pohon bambu yang tingginya kurang lebih
10 meter dan dipasang di sepanjang jalan raya. Terkadang kegiatan merangkai
Penjor ini diperlombakan untuk menambah semangat kreativitas masyarakat Hindu
dalam perayaan Galungan. Dan Penjor-penjor tersebut dipasang hingga Hari Raya
Kuningan.
Seperti pada umumnya sembahyang di Pura, umat Hindu selalu mempersiapkan
sesajian atau banten yang akan dipersembahkan kepada para dewa dan para
pendahulu. Sesajian ini telah dipersiapan sejak sehari sebelum sembahyang
upacara Galungan dilaksanakan. Sesajian terdiri dari buah buahan segar,
kembang-kembang yang semerbak wanginya, dan beberapa makanan. Sesajian ini
dirangkai seindah dan sebaik mungkin dengan janur dan dedaunan. Selain itu umat
hindu juga tidak lupa menyiapkan dupa, sebagai alat yang akan menyampaikan
doa-doa dan puja yang dibacakan.
Memotong Kurban
Memotong kurban dilaksanakan sehari sebelum upacara galungan dilaksanakan,
yaitu dengan memotong kurban. Makna dari kegiatan ini adalah memotong atau
menghilangkan segala sikap tidak baik pada diri manusia yang disimbolkan dengan
hewan. Kemudian hewan yang dikurbankan ini dipersembahkan kepada Budakala untuk
mendapatkan ketenangan dalam melaksanakan sembahyang dan upacara Galungan.
2. Hari Raya Galungan
Sembahyang
Pada pagi hari Raya umat Hindu berbondong-bondong menuju Pura Desa, mulai
dari anak-anak, pemuda, dewasa hingga orang tua dengan mengenakan baju putih
atau baju adat Bali. dan tak lupa mengikatkan sebuah kain yang disebut cetang
yang dililitkan di pinggang. Bagi laki-laki umumnya memakai ikat kepala. Para
wanita membawa sesajian yang akan diletakkan di Pura sebagai persembahan.
Sebelum sembahyang dimulai, pemangku membacakan mantra-mantra sambil
membunyikan lonceng dan memercikkan air suci pada sesajian.
Setelah selesai membacakan mantra-mantra dan doa, umat Hindu secara
berjaaah melaksanakan sembahyang yang dipimpin oleh pemangku. Tahapan pertama yaitu
dengan mengambil beberapa sikap tubuh sesuai perintah pemangku seperti Sikap Hasana,
Peyanama, Kara Sedama, Mustikarana. Kemudian dilanjutkan dengan Krama
Ning Sembah yaitu yang pertama sembah tangan kosong, selanjutnya sembah
kembang ditujukan kepada Raditya, kemudian sembah kembang yang kedua ditujukan
kepada leluhur, sembah kyangen kembang yang diasapi dengan dupa kemudian
kembang tersebut diselipkan kedalam rambut, dan yang terakhir yaitu sembah
tangan kosong yang diasapi dengan dupa dan ditutup dengan Puja Paranu. Setelah
sembahyang selesai para umat mendengarkan beberapa nasehat legenda Galunagn
yang disampaikan oleh Pemangku Pura. Sembahyang ini dapat dilaksanakan sejak
pagi sampai malam hari.
Mengarak Barong
Tradisi Ngelawang yaitu sejumlah orang yang biasanya anak anak kecil dan
anak muda yang menampilkan tarian Barong di sepanjang jalan dan bagi yang
menyaksikan akan memberikan upah kepada mereka. Masyarakat Hindu meyakini bahwa
tradisi ini sebagai penolak datangnya pengaruh jahat. Akan tetapi ada juga
tradisi mengarak Barong dari Pura ke Pura lainnya oleh umat Hindu yang diringi
dengan musik khas Bali. Barong ini disimbolkan sebagai Dewa yang membawa
seluruh kebaikan dan menghapus kejahatan. Dan Barong juga diyakini sebagai
pelindung.
Memunjung
Tradisi mengunjung juga dilaksanakan oleh
sebagian umat Hindu. Yaitu mereka mengunjungi pusara/makam sanak-kerabat mereka
yang belum dilaksanakan upacara ngaben, dengan mengantarkan sesajian, mantra
dan doa-doa. Kegiatan ini merupakan wujud berbagi kepada sanak-kerabat meskipun
mereka telah tiada.
3. Setelah Hari Galungan
Pada esok harinya setelah Galungan pada hari kamis seluruh masyarakat bali
yang beragaman hindu bersama sama menikmati sisa sajian dan melakukan pensucian
dan sembahyang di rumah masing masing pada saat fajar menyingsing dengan air
wangi (kumkuman) dan air suci (tirtha). Lalu saling berkunjung dan mendoakan
keselamatan.
Pada hari berikutnya dinamakan hari “Sabtu Pon Dungulan” yang juga disebut
hari Pemaridan Guru. Hari ini melambangkan kembali nya dewata ke sorga dan
meninggalkan anugrah hidup sehat dan panjang umur (kadirghayusaan). Dihari ini
seluruh umat dianjurkan untuk menghaturkan canang meraka dan matirta gocara.
Upacara ini mengandung makna umat dapat menikmati Waranugraha Dewata.
4. Hari Raya Kuningan
Selanjutnya yaitu hari “Jumat Wage Kuningan” juga disebut hari Penampahan
Kuningan.. Dihari ini dianjurkan untuk melakukan kegiatan rohani yang disebut
juga dengan “sapuhakena malaning jnyana”, yaitu menghilangkan pikiran pikiran yang
tidak baik dalam diri kita. Pada keesokan harinya, “Sabtu Kliwon” disebut juga
hari “Kuningan” yaitu 10 hari setelah upacara Galungan. Pada saat upacara dan
memberikan sesajian hendaknya dilaksanakan pada pagi hari karena saat tengah
hari para dewata sudah kembali ke surga Saat ini Galungan diperingati dengan
meriah oleh seluruh umat hindu di bali dengan mengadakan Upacara dan bazar yang
tersebar di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Bali.
D. Makna dari Hari Raya Galungan
Perang melawan musuh didalam diri sendiri
sangatlah diutamakan. Musuh-musuh yang disebut seperti: sad ripu, sapta timira,
catur mada, dan yang lainnya. Jika sifat-sifat seperti ini tidak dikendalikan
akan menjadi sifat keraksasaan atau menjadi sifat Bhuta kala, yang berwujud
merusak, mabuk, sombong, bengis, kejam, nafsu keangkara murkaan, keserakahan,
pemarah, merasa diri memegang kekuasaan, merasa diri paling pintar, pandai atau
berilmu, yang semestinya diarahkan atau diabdikan pada pembentukan masyarakat
Dharmika yang tata tentram kertha raharja dan sebagainya. Galungan yang
dirayakan pada setiap hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, di samping merupakan
peringatan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan), juga bahwa
Galungan tersebut merupakan peringatan bagi kita, agar kita selalu sadar dan
waspada terhadap usaha Sad Ripu dan berbagai nafsu yang tergolong jahat yang
digambarkan sebagai tiga Bhuta Kala agar manusia terhindar dan bahkan dapat mengendalikannya.
Kitab Suci Weda memberikan isyarat kepada manusia
agar selalu sadar dan waspada kepada ripu-ripu yang ada di dalam diri kita itu.
Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :
“Bagi
yang punya disiplin terhadap indriyanya, bergerak diantara semua obyek panca
indriyanya, tetapi tidak berpengaruh olehnya, malah menguasainya dengan
Atmannya, ia menjalani kehidupân yang damai”. (Bh. G. II. 64)
“Ia
yang mampu bertahan di dunia ini dan merasakan kebebasan dan badan yang
dikungkurig oleh nafsu dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkung oleh
nafsu dan kemarahan dan malah bisa menyelaraskan keduanya itu, ia adalah orang
yang bahagia sejati. Kedamaian yang abadi bersemayam pada mereka yang tahu
siapa diri mereka, dan dapat bebas dan rasa nafsu dan marah, mereka bersifat
damai dan berpikiran damai”. (Bh. G. V. 23, 26 )
“Pintu
mereka ada tiga buah yang menyebabkan kehancuran diri, yaitu hawa nafsu,
kebencian dan kelobhaan; hendaknya engkau (manusia) menghindari ketiga sifat ini”.
(Bh. G. XVII.21)
Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup di
dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan tujuan hidup itu dalam ajaran agama
Hindu direalisasikan melalui ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan hidup
manusia yang terdiri dari Dharma/Kebenaran, Artha/harta benda untuk
mensejahterakan kehidupannya, kama/keinginan atau nafsu dan moksa yang
merupakan tujuan akhir dari hidup manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu dapat kita
klasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan secara duniawi dan tujuan secara
rohani. Dalam hal ini keempat tujuan itu merupakan satu kesatuan dan selalu
ditunjang oleh Dharma. Harta yang diperlukan untuk menunjang kehidupan, jika
diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka harta itu tidak akan berarti, demikian
juga halnya dengan kama, dan Dharma pulalah yang menjadi landasan hidup untuk
mencapai moksa yang merupakan kemerdekaan atau kelepasan/terbebasnya manusia
dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama
Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari
samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung
makna kemerdekaan atau kelepasan.
Dengan memohon pembersihan dan pensucian dari Hyang Widhi Melalui upacara.
Dan upacara ini diakhiri dengan "ngayab dan natab". yaitu
menghaturkan dan memohon bersama-sama agar dilimpahkan karunia berupa
keselamatan untuk semua anggota keluarga, agar kemudian lebih dapat
meningkatkan kesatuan pribadinya serta mampu menaklukkan dan menguasai segala
macam godaan, baik yang datang dari luar maupun yang timbul dari dalam diri
kita sendiri. Hal inilah yang
disebut dengan kemenangan Dharma Melawan Adharma. (I Made Murdiasa, S.Ag/ http://okanila.brinkster.net/mediaFull.diaksespada12desember2014 )
E.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar