Pages

Subscribe:

Labels

Rabu, 12 Desember 2012

Sejarah Agama Hindu




Sejarah Agama Hindu

Sanata Dharma berkembang
dari jaman pra-sejarah di India dalam bentuk Pantheon agama Monotheisme (contohnya memuja satu Tuhan dalam cara dan bentuk). Sementara itu sejumlah kelas sosial muncul dalam masyarakat  Hindu dalam bentuk upacara agama yang beasr-besaran, pengorbanan binatang, pelaksanaan sistem kasta yag terlalu kaku dan pernyataan kesuperioran para Brahmana dari kasta yang lainnya.[1]
1.    Zaman Weda (1500 SM-300 SM)
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab. Para Aryan yang masuk ke India membawa agama yang memuja serta mengambil hati para dewa yang melambangkan kekuata-kekuatan alam. Di bawah pengaruh mentalitas religius lokal, sistem pemujaan kaum Aryan berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yakni: yang riualistik dan yang filosofis. Di satu pihak pemujaan terhadap alam memberikan tempat bagi perkembanga ritual canggih yang berpusat pada berbagai macam upacara kurban (yajna) dan hanya boleh dilakukan pendeta-pendeta profesional. Aliran filosofis mencoba untuk menemukan kehadiran Roh atau Kesadaran (Spirit) yang meliputi semua dibalik pluralitas para dewa.[2] Zaman ini dapat dibagi lagi menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman ini, menjadi tiga periode: Agama Weda, Agama Brahmana dan Agama Upanishad.[3]
A.    Zaman Weda Purba
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, di dalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam. Kalau kita ingin mengerti sedikit tentang hal ini, kita harus dapat membayangkan benar-benar keadaan bangsa Arya yang memasuki negeri India sebagai kelompok kecil-kecil. Mereka tidak mengenal suatu kekuasaan politik pusat dan seringkali mereka hidup bermusuh-musuhan. Mereka memasuki daerah yang sangat luas yang tertutup oleh hutan rimba yang tak terhingga, tempat tinngal banyak binatang dan seringkali sangat berbahaya.
Sebagaimana penduduk daerah lainnya yang serupa dengan itu, maka bangsa Aryapun merasa dikelilingi oleh berbagai daya kekuasaan dan daya kekuatan yang berbahaya. Dimana-mana di dalam alam dan di dalam pergaulan hidup mereka terserang oleh berbagai daya kekuasaan yang dapat memberi berkat atau kesengsaraan kepada orang seorang atau persekutuan.[4]
Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid=tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan kepada para resi atau para pendetadalam bnetuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagai puji-pujian oleh para resi itu sebagai pernyataan rasa hatinya.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu disebut sruti yang secara harfiah berari apa yang didengar, yaitu didengar oleh dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin  bahwa kitab-kitab Weda bukan hasil karya manusia. Weda-weda adalah kekal. Weda adlah nafas Tuhan., kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan itu adalah mantra-mantra.[5]
Sesudah dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu:
a.       Rg-Weda, berisi mantra dalam bentuk pujia-pujian digunakan untuk mengundang para Dewa.
b.      Sama-Weda, hampir seluruh isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya ialah puji-pujian disini diberi lagu (Sama:lagu). Pendeta yang menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Dinyanyikan pada waktu kurban persembahan.
c.       Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh Imam atau pendeta yang disebut Adwarya yaitu pada saat ia melaksanakan upacara Kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban itu menjadi makanan para Dewa.
d.      Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah, separti tampak didalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat dan sebagainya.[6]

B.   Zaman Brahmana
Agama Bramana bersumber pada kitab Brahmana, yaitu bagian Weda yang kedua.  Kitab-kitab ini ditulis oleh para imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isiya memberi keterangan tentang kurban.
Hal ini disebabkan karena zaman ini adalahsuatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya pada kurban.
Pada zaman Brahmana timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah:
a.       Kurban mendapat tekanan yang berat.
b.      Para imam menjadi golongan yang paling berkuasa.
c.       Perkembangan kasta dan asrama.
d.      Dewa-dewa berubah perangainya.
e.       Timbulnya Kitab-kitab Sutra.[7]
Didalam dalam Agama Brahmana, Brahman dipandang bertindih tepat dengan upacara kurban, sehingga upacara-upacara itu menjadi Mahakuasa. Barangsiapa yang dapat mengenal Brahman, yang berarti mengenal upacara-upacara kurban, ia mengenal dan menguasai alam semesta. Dengan demikian Brahman di dalam agama Brahmana  juga sudah mempunyai arti asas pertama dn roh yang memimpin alam semsta.
C.   Zaman Upanisad.
Hidup keagamaan ini bersumber pada bagian akhir Weda, yaitu Kitab-kitab Aranyaka dan Upanisad. Kitab-kitab Aranyaka disusun oleh para pertapa yang berada di dalam hutan (aranya). Isinya pada umumnya membicarakan teman-teman dan hal-hal yang juga dibicarakan di dalam Kitab-kitab Upanisad. Kedudukannya diantara Kitab-kitab Brahmana dan Upanisad.
Kata Upanisad berarti duduk di bawah kaki guru, yaitu untuk mendengarkan ajaran sang guru. Mula-mula dipergunakan untuk menyebutkan ajaran yang diberikan oleh guru kepada muridnya, tetpai kemudian dipergunakan juga untuk menyebutkan segala macam rahasia yang bersifat mistik. Akhirnya, kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran itu juga disebut Upanisad.
Dalam Upanisad, Brahman adalah sebab adanya dunia, landasan atau sebab bendani dunia, seperti emas adalah sebab bendani perhiasan dari emas. Bahwa Brahman yang tidak tampak itu berada di dalam segala sesuatu digambarkan sebagai garam yang dilarutkan di dalam air (Chand. Up. VI,13,1,2,3)[8]
Peran ritual dalam agama Weda tidak dapat diremehkan. Karena diperkirakan bahwa hidupnya kembali teks-teks Weda mungkin disebabkan oleh penggunaannya di dalam ritual.[9]
2.   Zaman Klasik
Spekulasi canggih serta mistisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasikecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
b.      Interoretasi yang rasional terhadap masalah kehidupan manusia.
c.       Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia hewan.
d.      Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif-bijaksana membimbing beberapa murid telah terpilih dalam menjalankan mistisme metafisis, maka kasta Brahamana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi populer tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Buddhisme, Jainisme, Shaivisme, Vaishnevisme.[10]
A.    Buddhisme dan Jainsme
Bersama-sama dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga aliran ini disebut Nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga dimasukkan ke dalam golongan  ‘heterodoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan ke enam aliran filsafat (Shad Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima otoritas Weda dan disebut juga golongan ortodoks. Keduanya mengajarkan doktrin etika yang menekankan kesucian kehidupan hewani, sehingga berada di luar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai kitab suci. [11]
B.     Shaivisme dan Vaishnavisme
Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usuknya dan memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Hinduisme. Shavisme atau shiva tampaknya dimulai sekitar abad ke-6-SM. dengan menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan oleh Shiva yang merupakan dewa kaum non-aryan. Shiva dapat masuk ke dalam tubuh yang sudah mati serta muncul dalam wujud manusia untuk mewahyukan agama baru.[12]

3.    Zaman Pertengahan
Hinduisme berkembang dengan baik, sampai kedatangn Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan dari dalam. Islam memberi pengaruh ganda bagi Hinduisme. Di satu pihak, Islam menganjurkan perpindahan agama; di pihak lain, Islam mendorong kecenderungan yang egaliter dan monoteistik bagi kaum Hindu. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah kabir (abad ke 15), guru Nanak (1469-1538),  Dadu (1544-1603).[13]
Memang ada interaksi antara Islam mistis dan Hinduisme, namun ajaran utama Hinduisme menarik diri ke dalam kerang pelindung; dan secara mendasar berada dalam cengkeraman keputusan politik, sehingga berbalik ke arah penghiburan spiritual pada Tuhan. Hal ini terlihat dengan berkembangnya gaya hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi. Kehidupan  sannyasin menjadi semacam pelarian diri. Seperti yang dilihat denag jelas oleh Guru Nanak pada sekitar abad ke-16, keekstreman Hinduisme  terlihat jelas dalam karya-karya puisi devosional dengan kualitas sensasional, yang gerakannya diwakili oleh Surdas, Tulsidas,Mirabi, dan lain-lain.
Gerakan Caitanya pada abad ke 15, yang menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan sebuah usaha untuk menghindarkan Hinduisme agar tidak menjadi agama rumah dan perapian saja. Gerakan devosionl ini menekankan kekuatan penyelamatan dalam nama Tuhan-terutama Khrisna dan rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradoks bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan devosional (bhakti) ini dikatakan berasal dai India Selatan, dimana para devoti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai puncaknya pada abad ke-9. Sekarang kita akan pindah ke India Selatan.
Islam masuk ke wialayah India Selatan dengan disingkirkannya  Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Namun reaksi kaum Hindu di Selatan cukup menarik dan berbeda. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran Vedanta yang diwakili oleh Shankara (abad ke-9), Ramanuja (abad ke-12) dan madvha (abad ke 13) muncul di Selatan. Wilayah Selatan menunjukkan kekuatan serta  vitalitas lebih besar, bukan hanya secara religius, namun juga secara politis. Hal ini disebabkan adanya kerajaan Vijayanagar yang berkuasa dari abad ke-14 sampai abad ke 17.[14]
Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religius di India Utara dengan ciri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar dsb.) seabagai contoh adalah Kabir (abad ke-15) yang mengajarkan sebuah agama universal berdasarkan pada reslisasi personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru Nanak (1469-1538) mendirikan agama sikh yang berusaha untuk menyelaraskan Islam dan Hinduisme.[15]
4.    Zaman  Modern (1800-1947)
Pengaruh kebudayaan Barat memberikan dampak menetukan bagi Hinduisme. Walupun Hinduisme populer dan tradisional tetap menguasai masyarakat umum, namun orang-ornag terpelajar sangat dipengaruhi oleh ide-ide baru yang datang dari Barat. Rasioanalisme dan Positivisme cukup memikat orang-orang yang tidak puas dengan Hinduisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brahma-Samaj, Arya-Samaj, dan Ramakrishna Mission merupakan gerakan yang paling penting.
Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya Inggris mengurangi kekuatan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah kekuatan baru, yakni agama Kristen. Pada saat yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan sebuah ancaman baru, yakni: sains, sekularisme dan humanisme. Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda. Dampak bagi pengikut Hinduisme tampak dari pernyataan seorang tokoh nasionalis seperti Swami Vivekanda bahwa Max Muler yang mengedit Rig-Weda di masa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan Vijayanagar.
Menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawah tekanan Buddishme, Jainisme dan Materialisme. Di masa Modern, walaupun Hinduisme sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang rasional, modernis dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara yang sama. Hinduisme  sekarang meninggikan pengalaman religius di atas otoritas religius dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda.[16]


Daftar Pustaka
1.     Ali, Matius,  Filsafat India. Sanggar Luxor,  Tangerang: 2010.
2.     Jr., A.G. Honig, Ilmu Agama, PT BPK Gunung Mulya, Jakarta:2009
3.     Hadiwijono, Harun, AgamaHindu dan Budha, PT BPK Gunung Mulya, Jakarta:2010.
4.     Pandit, Bansit, Pemikiran Hindu, Paramita, Surabaya: 2006




[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, hal. 4
[2] Matius Ali, Filsafat India, hal. 17
[3] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Budha. hal. 13
[4] A.G. Honig Jr.  Ilmu Agama. hal.81
[5]  Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Budha. hal.16
[6] Ibid. hal. 18
[7] Ibid. hal. 21
[8] Ibid, hal. 25
[9] Matius Ali, Filsafat Islam, hal. 19
[10] Matius Ali, Filsafai Islam, hal. 20
[11] Ibid, hal. 21
[12] Ibid, hal. 22
[13] Ibid, hal. 23
[14]Matius Ali, Filsafat India, hal. 25
[15] Ibid,hal. 26
[16] Matius Ali, Filsafa Islam, hal. 27

0 komentar:

Posting Komentar