Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 28 Desember 2012

Filsafat Yoga Patanjali







Pengantar
Akar kata Yoga dapat dilacak kembali secara kasar pada 5000 tahun peradaban lembah Indus, dimana segel-segel melukiskan orang-orang yang sedang melakukan asanas (sikap yoga) yang digunakan dalam perdagangan sepanjang sungai tersebut. Yoga pertama kali ditawarkan oleh Dewa Shiwa kepada istrinya Parvati dan kemudian menularkannya ke dunia. Pengajaran Yoga itulah yang kemudian ditularkan dari satu generasi ke genarasi yang lain secara persisten. Secara historis, aliran Yoga yang paling penting dalam Hinduisme adalah sistem klasik dari Patanjali. Sistem Patanjali yang disebut Raja-yoga merupakan
sebuah ringkasan formal dari banyak generasi eksperimen yoga dan budaya.
A.   Pengertian Yoga
Kata Yoga berasal dari kata Sansekerta “ Yuj ”, yoke dalam bahasa Inggris, yang berarti memasang, bergabung atau menyatu, yang dimaksudkan adalah persatuan dari semua aspek seorang individu : tubuh, pikiran dan jiwa. Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, lebih transenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Painini, yoga diturunkan dari akar Sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni : penyerapan samadhi (yujyete); menghubungkan(yunakti); dan pengendalian (yojyanti). Namun kunci yang biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan ‘penyatuan’ (yukti).[1] Oleh karena itu, Yoga menyatukan kembali semua pertentangan: pikiran dan tubuh, keheningan dan gerakan, maskulin dan feminine, matahari dan bulan, guna membawa rekonsiliasi atau perdamaian diantara mereka..

1.  Tokoh dan Penjelasan isi Kitab Yoga Sutra
Hiraóyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahàrûi Patañjali (Raja-yoga)  merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Sàòkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih orthodox dari pada filsafat Sàòkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan dari Makhluk Tertinggi (Ìúwara). Kata ‘Raja’ dapat juga merujuk pada ‘penguasa’, Tuhan (Ishwara) yang dikenali oleh Patanjali sebagai “Diri transendental’.
Sebagai ahli berpendapat bahwa Patanjali hidup pada masa pra-Kristen dan merupakan sistem yoga yang paling berpengaruh dalam konteks Hinduisme. Raja-yoga Patanjali adalah sebuah jalan mulya menuju Meditasi dan Kontemplasi.[2]
“Yoga Sùtra” dari Patañjali muncul sebagai buku acuan yang tertua dari aliran filsafat Yoga, yang memiliki 4 Bab. Bab yang pertama yaitu Samàdhi Pàda, memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan Samàdhi. Bab kedua yaitu Sàdhanà Pàda, menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan ini. Bab ketiga, yaitu Wibhùti Pàda, memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang dapat Pàda, menggambarkan sifat dari pembebasan.[3]

2.  Etika Yoga
Dalam filsafat Yoga maka yoga berati penghentian kegooncangan kegoncangan pikiran. Pikiran itu ditentukan oleh itensitas sattwa, rajas dan tamas. Kelima fikiran tersebut ialah:
a.       Ksipta artinya tidak diam
b.      Mudha artinya lamban
c.       Wikspita artinya bingung; kacau
d.      Ekagra artinya terpusat
e.       Niruddha artinya terkendali.
Ekagrat dan Niruddha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kelepasan.[4]
Tingkatan kûipta adalah pada saat pikiran mengembara diantara berbagai obyek duniawi dan pikiran dipenuhi dengan sifat rajas. Tingkatan mudha, pikiran berada dalam keadaan tertidur dan tak berdaya disebabkan sifat tamas. Tingkatan wikûipta adalah keadaan pada saat sifat sattwa melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan obyektivitas. Sinar pikiran secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat sattwa meningkat, kamu akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya dan kelayakan untuk perwujudanàtman. Tingkatan ekagra adalah pada saat pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam sifat sattwa terbebas dari sifat rajas dan tamas. Tingkatan nirudhaadalah pada saat pikiran di bawah pengendalian yang sempurna. Semua wåþþi pikiran dilenyapkan.
Wåþþi merupakan kegoncangan atau gejolak pikiran dalam danaunya pikiran. Setiap wåþþi atau perubahan mental meninggalkan sesuatu saýskàra atau kesan-kesan atau kecenderungan yang terpendam. Saýskàra ini dapat mewujudkan dirinya sebagai keadaan sadar bila ada kesempatan. Wåþþi yang sama memperkuat kecenderungan yang sama. Bila semua wåþþi dihentikan, pikiran berada dalam keadaan setimbang (samapatti).
Penyakit, kelesuan, keragu-raguan, keletihan, kemalasan, keduniawian, kesalahan pengamatan, kegagalan mencapai konsentrasi dan ketidakmampuan ketika hal itu dicapai, merupakan halangan pokok untuk konsentrasi.[5]

3.  Astangga Yoga
Patanjali menyusun ‘8 rruas yoga’ (Ashtangga-yoga) sebagai sebuah metode spritualitas praktis dalam yoga sutras.
1)      Disiplin Moral (Yama)
Definisi ‘yama’ dijelaskan dalam Yoga sutras (2.30) “Yama atas tanpa kekerasan, kebenaran, tidak mencuri, selibat dan ketidak tamakkan’’ (ahimsa satyasteya brahmacaryaparigraha yamah)
·         Tanpa Kekerasan (Ahimsa)
·         Kebenaran (satya)
·         Tidak Mencuri (asteya)
·         Kesucian-kemurnian (Brahmacarya)
·         Ketidak tamakkan (Aparigraha)[6]
Beberapa penjelasan dalam Yoga sutra :
v  “Jika ahimsa  sudah dilaksanakan secara mantap, maka semua kebencian akan berhenti”
v  “Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran semua tindakkan serta akibatnya ada di bawah kendali dirinya”
v  “Jika Asetya sudah ditanamkan, maka kekayaan akan datang”
v  ”Dengan menjalankan Brahmacarya, orang mendapatkan kekuatan”
v  “Jika Aparigraha sudah tertanam, maka akan datang sebuah iluminasi menyeluruh tentang bagaimana dan mengapa seseorang dilahirkan.
Jika dikuasai sepenuhnya, maka masing-masing dari kelima keutamaan dapat memberikan kekuatan paranormal (siddhi). Sebagai contoh,penguasa ‘ahimsa’ akan menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi yang dapat menetralisir semua rasa permusuhan serta penguasaan kebencian. Begitu juga keutamaan-keutamaan yang lainnya.
2)      Disiplin Diri (Niyama)
Ruas kedua ini bertujuan untuk mengendalikan energi psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendali diri kehidupan para yogi. Niyama juga memiliki aturan untuk menyelaraskan diri secara menyeluruh dengan Realitas Transendental yakni :
·         Kesucian atau kemurnian diri (shauca)
·         Berpuas diri (Samtosa)
·         Askese (Tapas)
·         Studi Teks spiritual (Svadhyaya)
·         Penyerahan Diri pada Tuhan (Iswara-pranidhana)
Ø  Sauca artinya suci lahir batin
Ø  Santosa artinya berpuas diri dengan apa yang telah dimiliki dan diperoleh.
Ø  Tapa artinya tahan uji terhadap gangguan-gangguan.
Ø  Swadhyaya artinya mempelajari buku-buku agama dengan teratur.
Ø  Iswarapranidhana artinya memusatkan fikiran dan bakti kepada Tuhan[7]
3)      Postur tubuh (asana)
Secara Harfiah, kata ‘Asana’ berarti ‘dudukan’. Secara esensial, asanas adalah sebuah latihan untuk memurnikan dan mendiamkan tubuh fisik. Dalam Yoga Sutars (2.46), dikatakan bahwa:
“Postur tubuh haruslah dalam kondisi stabil dan enak”.
Dengan melipat anggota tubuhnya, para yogi segera mencapai perubahansuasana dan ketenangan dalam batin. Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi pikiran. Menurut Patanjali, latihan ‘asanas’ yang teratur dan benar akan menghilangkan sensitifitas terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin, terang dan gelap, hening dan ribut.[8]
Gambar beberapa postur tubuh dLm Yoga.



4)      Pengendalian Nafas  (pranayama)
Artinya pengaturan nafas. Pranayama ini terdiri dari :
·         Puraka yaitu Pemasukkan nafas
·         Kumbhaka yaitu menahan nafas
·         Recaka yaitu mengeluarkan nafas.
5)      Pengendalian Indera (Pratyahara)
Menarik indriya dari wilayah sasarannya dan menempatkannya dibawah pengawasan fikiran. Bila indriya dapat diawasi fikiran maka ia tidak akan berkeliaran pada obyeknya namun ia mengikuti fikiran.

6)      Konsentrasi (Dharana)
Konsentrasi merupakan proses lanjutan dari Pratyahara. Konsentrasi adalah komponen keenam dari ashtangga-yoga Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai memfokuskan perhatian pada satu tempat tertentu “desa”. Tempat (locus) tersebut dapat merupakan bagian tertentu dari tubuh seperti Cakra atau obyek eksternal, yang diinternalisasi seperti imaji seorang dewa-dewi.[9]
7)      Meditasi (Dhyana)
Dhyana berarti aliran fikiran yang tenang pada obyek tak tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya. Hal ini menyababkan orang memiliki gambaran yang jelas tentang bagian-bagian dan aspek renungan.
8)       Ekstasi (Samadhi)
Samadhi adalah suatu kondisi puncak yang dicapai melalui sebuah proses disiplin mental yang panjang dan sulit. Kondisi Samadhi seringkali ditafsirkan secara pejoratif sebagai suatu kondisi trance yang tidak sadar atau sebuah kondisi Ischizophrenia yang disengaja.
Dari tingkat yama sampai dengan  pratyahara disebut Bahirangga sadhana  yang artinya pertolongan dalam bentuk lahir menuju ajaran yoga. Sedangkan dari  dharana sampai dengan samadhi disebut antar angga yang artinya sarana batin.

4.  Tuhan dalam Ajaran Yoga
Berbeda dengan Samkhya, yoga mengakui adanya Tuhan. Adanya Tuhan dipandang lebih bernilai prektis daripada bersifat teori dan merupakan tujuan akhir samadhi yoga.  Menurut ajaran yoga Tuhan itu adalah roh tertinngi yang mengatasi roh perseorangan dan bebas dari cacat. Ia adalah  ada sempurna kekal abadi.



[1] Matius Ali, filsafai India, hal. 57
[2] Matius Ali, filsafai India, hal. 61
[3] http/serbaserbihindu.blogspot.com/2012/06.diunduhpada/2012/11/08
[4] Tattwa Darsana. hal. 60
[5] http/serbaserbihindu.blogspot.com/2012/06.diunduhpada/2012/11/08

[6]Matius Ali, filsafai India, hal. 67
[7] Tattwa Darsana. hal.63
[8] Matius Ali, filsafat India, hal. 75
[9] Matius Ali, filsafat India, hal

0 komentar:

Posting Komentar