Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 22 Desember 2014

Hari Raya Galungan


HARI RAYA GALUNGAN

                A.  Arti Galungan
Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu pemujaan terjadinya kemenangan kebenaran atas ketidakbenaran dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan diadakan kira 210 hari sekali pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan.
Galungan merupakan hari Pewedalan jagat, yaitu hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Persembahan dan pemujaan terhadap Sang Hyang widhi dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh kesucian guna memohon kebahagiaan hidup dan agar dapat menjauhkan diri dari Awidya atau kegelapan. Serta merayakan kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (adharma). Sebagai ucapan syukur, umat Hindu memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Batara (dengan segala manifestasinya).
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang mempunyai arti “menang” Galungan mempunyai arti yang sama juga dengan “Dungulan”, yang juga berarti menang. Oleh karena itu di Jawa, wuku yang ke 11 disebut “Wuku Galungan” dan di Bali disebut dengan “Wuku Dungulan”. Kedua nama itu berbeda namun artinya tetap sama.
B. Sejarah dan Mitologi Hari Raya Galungan
Asal usul Hari Raya Galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan, oleh siapa dan di mana. Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku mantan dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI memperkirakan Hari Raya Galungan sudah dalam dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Pulau Bali. Namun menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.” Lontar sendiri bisa disebut ibarat pustaka suci (yang disucikan) / kitab pedoman dan disimpan oleh umat Hindu.
Manusia dilahirkan dalam keadaan Awidya atau kegelapan, yaitu sifat nafsu murka, irihati, congkak, angkara. Semua sifat ini disimbulkan sebagai Sang Kala Tiga, yang diberi gelar yaitu: Pertama, Sang Bhuta Galungan yang berusaha menyerang dan menggoda kita pada hari Minggu atau Penyekeban. Yang Kedua, yaitu Sang Bhuta Dungulan, yang berusaha menyerang atau menggoda kita pada hari Senin atau Penyajaan. Dan yang Ketiga, adalah Sang Bhuta Amangkurat, yang berusaha menyerang kita pada hari Selasa atau hari Penampahan Galungan. Dan kita juga berusaha lebih kuat lagi untuk mengalahkan godaan-godaan itu. Dan kesadaran umat akan kekuatan suci dibangun dengan "Abhayakala" yaitu melakukan upacara Penyucian diri dari kegelapan atau kala tiga itu. Yang bertujuan untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh Sang Kala Tiga. Dan untuk mengharmoniskan kesejahteraan bhuwana agung dan bhuwana alit
Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi (kalender yang biasa kita pakai). Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan. Jarak antara Galungan dan Kuningan sendiri ialah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan atau kelepasan. Sedangkan untuk mencapai kemerdekaan, pada umumnya didahului oleh suatu pertempuran atau peperangan dan pertarungan. Galungan sempat di hentikan perayaannya pada masa raja Sri Ekajaya (tahun Saka 1103) dan raja Sri Dhanadi. Namun saat Galungan dihentikan perayaannya banyak terjadi musibah dan malapetaka yang menimpa Bali, saat itu banyak pejabat pejabat wafat diusia yang relatif masih muda. Saat raja Sri Dhanadi mangkat dan digantikan raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali setelah beberapa puluh tahun tidak dirayakan.
Cerita ini semua dipaparkan dalam Lontar Sri Jayakasunu yang bercerita tentang kegundahan raja Sri Jayakasunu yang merasa heran, karena banyak pejabat pejabat meninggal saat usia muda, oleh sebab itu kemudian Raja Sri Jayakasunu melakuakan semedhi tapa brata dan mendekatkan diri dengan para Dewata, tapa brata dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan gaib ( pawisik ) yang berasal dari dewi Durgha. Dalam bisikan gaib ( pawisik ) itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Dewi Durgha meminta kepada raja Sri Jayakasunu untuk kembali mengadakan perayaan Galungan pada setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Lalu dewi Durgha juga meminta raja Sri Jayakasunu dan rakyatnya untuk memasang “penjor” Penjor sendiri mempunyai makna ungkapan rasa terima kasih atas kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpahkan ruah dari Hyang Widhi wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ). Penjor adalah Bambu yang menjulang tinggi dan melekung ini diibaratkan sebagai gambaran gunung agung tempat suci para dewa bersemayam. Penjor ini dihiasi dan terdiri dari kelapa ,pisang, tebu, padi, dan kain.ini semua adalah perwakilan dari seluruh tumbuhan sandang dan pangan.
Ada dua mitologi yang dihubungkan dengan perayaan Galungan dan Kuningan sekaligus dengan peperangannya untuk mencapai kemenangan atau kemerdekaan. Kedua mitologi itu adalah peperangan antara raja Mayadanawa melawan Bhatara Indra dan pewarah-warah Bhatari Durga kepada Sri Jaya Kasunu. Dalam Lontar Jaya Kasunu diceritakan bahwa sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Galungan dan Kuningan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Jaya Kasunu naik tahta dan juga setelah mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan dan Kuningan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan "tidak ada Galungan buwung" atau tidak ada Galungan batal. Sejak itu mulailah kehidupan rakyat menjadi bahagia dan sejahtera serta mendapat umur panjang. Sedangkan pada versi ceritra lainnya, Galungan dihubungkan dengan kekalahan raja Mayadanawa oleh Bhatara Indra. 
Raja yang serakah, sombong dan angkuh, yang tidak percaya akan kemahakuasaan Tuhan, yang menyuruh rakyatnya menyembah dirinya. Karena dirinya yang paling berkuasa dan diidentikkan dirinya dengan Tuhan yang berkuasa. Akhirnya peperanganpun terjadi, raja Mayadanawa tak berkutik oleh kekuatan dan kehebatan Bhatara Indra. Sehingga kemenangan Bhatara Indra atas peperangan itu yang dihubungkan dengan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan. Dengan demikian Galungan dan Kuningan merupakan simbul hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Karena itu pengendalian diri sangatlah diperlukan.

                C.  Perayaan Hari Raya Galungan
                   *Persiapan Sebelum Perayaan Hari Raya Galungan

Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan.  Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti
Bubuh putih untuk umbi-umbian
Bubuh bang untuk padang-padangan
Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap:
“Dadong- Dadong I Pekak anak kija
 I Pekak ye gelem
I Pekak gelem apa dong?
I Pekak gelem nged
Nged, nged, nged”
Dialog diatas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera      berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini   merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugian
Sugihan ini berarti penyucian yaitu penyucian terhadap Pura dan alat-alat sembahyang. Pura dibersihkan dan disucikan serta dihiasi dengan warna warna yang cerah. Dalam kepercayaan Hindu selain mempercantik Pura, warna warni hiasan Pura juga memiliki makna yang dalam.
Panambah
Satu hari sebelum Galungan yaitu pada hari selasa, diadakan juga Upacara pembersihan diri dan hari ini dinamakan hari Anggara Wage Dungulan atau hari Penampahan di mana segala nafsu harus dihilangkan dan semua sifat manusia yang tidak baik di tinggalkan untuk menyambut hari Galungan esok hari dengan hati yang bersih dan suci lagi. 
Merangkai Penjor 
Perayaan Hari Raya Galungan identik dengan Penjor yang dipasang di tepi jalan, yang terdiri dari janur, buah bahan dan umbi-umbian. Penjor ini dipasang sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karuniaNya yang berlimbah.
Penjor dilengkapi dengan Paluh Bungkah yaitu terdiri dari Umbi-umbian seperti ketela, daun-daunan, kelapa dan tebu, Paluh Gantung yaitu terdiri dari buah-buahan. Di bagian ujung Penjor digantung hiasan bunga, dan rangkaian janur. Dirangkai di sebatang pohon bambu yang tingginya kurang lebih 10 meter dan dipasang di sepanjang jalan raya. Terkadang kegiatan merangkai Penjor ini diperlombakan untuk menambah semangat kreativitas masyarakat Hindu dalam perayaan Galungan. Dan Penjor-penjor tersebut dipasang hingga Hari Raya Kuningan.
Persiapan banten/sesajin 
Seperti pada umumnya sembahyang di Pura, umat Hindu selalu mempersiapkan sesajian atau banten yang akan dipersembahkan kepada para dewa dan para pendahulu. Sesajian ini telah dipersiapan sejak sehari sebelum sembahyang upacara Galungan dilaksanakan. Sesajian terdiri dari buah buahan segar, kembang-kembang yang semerbak wanginya, dan beberapa makanan. Sesajian ini dirangkai seindah dan sebaik mungkin dengan janur dan dedaunan. Selain itu umat hindu juga tidak lupa menyiapkan dupa, sebagai alat yang akan menyampaikan doa-doa dan puja yang dibacakan.
Memotong Kurban
Memotong kurban dilaksanakan sehari sebelum upacara galungan dilaksanakan, yaitu dengan memotong kurban. Makna dari kegiatan ini adalah memotong atau menghilangkan segala sikap tidak baik pada diri manusia yang disimbolkan dengan hewan. Kemudian hewan yang dikurbankan ini dipersembahkan kepada Budakala untuk mendapatkan ketenangan dalam melaksanakan sembahyang dan upacara Galungan.

2.    Hari Raya Galungan
 
Sembahyang
Pada pagi hari Raya umat Hindu berbondong-bondong menuju Pura Desa, mulai dari anak-anak, pemuda, dewasa hingga orang tua dengan mengenakan baju putih atau baju adat Bali. dan tak lupa mengikatkan sebuah kain yang disebut cetang yang dililitkan di pinggang. Bagi laki-laki umumnya memakai ikat kepala. Para wanita membawa sesajian yang akan diletakkan di Pura sebagai persembahan. Sebelum sembahyang dimulai, pemangku membacakan mantra-mantra sambil membunyikan lonceng dan memercikkan air suci pada sesajian.
Setelah selesai membacakan mantra-mantra dan doa, umat Hindu secara berjaaah melaksanakan sembahyang yang dipimpin oleh pemangku. Tahapan pertama yaitu dengan mengambil beberapa sikap tubuh sesuai perintah pemangku seperti Sikap Hasana, Peyanama, Kara Sedama, Mustikarana. Kemudian dilanjutkan dengan Krama Ning Sembah yaitu yang pertama sembah tangan kosong, selanjutnya sembah kembang ditujukan kepada Raditya, kemudian sembah kembang yang kedua ditujukan kepada leluhur, sembah kyangen kembang yang diasapi dengan dupa kemudian kembang tersebut diselipkan kedalam rambut, dan yang terakhir yaitu sembah tangan kosong yang diasapi dengan dupa dan ditutup dengan Puja Paranu. Setelah sembahyang selesai para umat mendengarkan beberapa nasehat legenda Galunagn yang disampaikan oleh Pemangku Pura. Sembahyang ini dapat dilaksanakan sejak pagi sampai malam hari. 


Mengarak Barong
Tradisi Ngelawang yaitu sejumlah orang yang biasanya anak anak kecil dan anak muda yang menampilkan tarian Barong di sepanjang jalan dan bagi yang menyaksikan akan memberikan upah kepada mereka. Masyarakat Hindu meyakini bahwa tradisi ini sebagai penolak datangnya pengaruh jahat. Akan tetapi ada juga tradisi mengarak Barong dari Pura ke Pura lainnya oleh umat Hindu yang diringi dengan musik khas Bali. Barong ini disimbolkan sebagai Dewa yang membawa seluruh kebaikan dan menghapus kejahatan. Dan Barong juga diyakini sebagai pelindung.
Memunjung
Tradisi mengunjung juga dilaksanakan oleh sebagian umat Hindu. Yaitu mereka mengunjungi pusara/makam sanak-kerabat mereka yang belum dilaksanakan upacara ngaben, dengan mengantarkan sesajian, mantra dan doa-doa. Kegiatan ini merupakan wujud berbagi kepada sanak-kerabat meskipun mereka telah tiada.

3.    Setelah Hari Galungan
Pada esok harinya setelah Galungan pada hari kamis seluruh masyarakat bali yang beragaman hindu bersama sama menikmati sisa sajian dan melakukan pensucian dan sembahyang di rumah masing masing pada saat fajar menyingsing dengan air wangi (kumkuman) dan air suci (tirtha). Lalu saling berkunjung dan mendoakan keselamatan.
Pada hari berikutnya dinamakan hari “Sabtu Pon Dungulan” yang juga disebut hari Pemaridan Guru. Hari ini melambangkan kembali nya dewata ke sorga dan meninggalkan anugrah hidup sehat dan panjang umur (kadirghayusaan). Dihari ini seluruh umat dianjurkan untuk menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara ini mengandung makna umat dapat menikmati Waranugraha Dewata.
4.    Hari Raya Kuningan
Selanjutnya yaitu hari “Jumat Wage Kuningan” juga disebut hari Penampahan Kuningan.. Dihari ini dianjurkan untuk melakukan kegiatan rohani yang disebut juga dengan “sapuhakena malaning jnyana”, yaitu menghilangkan pikiran pikiran yang tidak baik dalam diri kita. Pada keesokan harinya, “Sabtu Kliwon” disebut juga hari “Kuningan” yaitu 10 hari setelah upacara Galungan. Pada saat upacara dan memberikan sesajian hendaknya dilaksanakan pada pagi hari karena saat tengah hari para dewata sudah kembali ke surga Saat ini Galungan diperingati dengan meriah oleh seluruh umat hindu di bali dengan mengadakan Upacara dan bazar yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Bali.

D. Makna dari Hari Raya Galungan
Perang melawan musuh didalam diri sendiri sangatlah diutamakan. Musuh-musuh yang disebut seperti: sad ripu, sapta timira, catur mada, dan yang lainnya. Jika sifat-sifat seperti ini tidak dikendalikan akan menjadi sifat keraksasaan atau menjadi sifat Bhuta kala, yang berwujud merusak, mabuk, sombong, bengis, kejam, nafsu keangkara murkaan, keserakahan, pemarah, merasa diri memegang kekuasaan, merasa diri paling pintar, pandai atau berilmu, yang semestinya diarahkan atau diabdikan pada pembentukan masyarakat Dharmika yang tata tentram kertha raharja dan sebagainya. Galungan yang dirayakan pada setiap hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, di samping merupakan peringatan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan), juga bahwa Galungan tersebut merupakan peringatan bagi kita, agar kita selalu sadar dan waspada terhadap usaha Sad Ripu dan berbagai nafsu yang tergolong jahat yang digambarkan sebagai tiga Bhuta Kala agar manusia terhindar dan bahkan dapat mengendalikannya.
Kitab Suci Weda memberikan isyarat kepada manusia agar selalu sadar dan waspada kepada ripu-ripu yang ada di dalam diri kita itu. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :
 “Bagi yang punya disiplin terhadap indriyanya, bergerak diantara semua obyek panca indriyanya, tetapi tidak berpengaruh olehnya, malah menguasainya dengan Atmannya, ia menjalani kehidupân yang damai”. (Bh. G. II. 64)
 “Ia yang mampu bertahan di dunia ini dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkurig oleh nafsu dan merasakan kebebasan dan badan yang dikungkung oleh nafsu dan kemarahan dan malah bisa menyelaraskan keduanya itu, ia adalah orang yang bahagia sejati. Kedamaian yang abadi bersemayam pada mereka yang tahu siapa diri mereka, dan dapat bebas dan rasa nafsu dan marah, mereka bersifat damai dan berpikiran damai”. (Bh. G. V. 23, 26 )
 “Pintu mereka ada tiga buah yang menyebabkan kehancuran diri, yaitu hawa nafsu, kebencian dan kelobhaan; hendaknya engkau (manusia) menghindari ketiga sifat ini”. (Bh. G. XVII.21)
Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat, dan tujuan hidup itu dalam ajaran agama Hindu direalisasikan melalui ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari Dharma/Kebenaran, Artha/harta benda untuk mensejahterakan kehidupannya, kama/keinginan atau nafsu dan moksa yang merupakan tujuan akhir dari hidup manusia. Dengan demikian, tujuan hidup dalam ajaran agama Hindu dapat kita klasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan secara duniawi dan tujuan secara rohani. Dalam hal ini keempat tujuan itu merupakan satu kesatuan dan selalu ditunjang oleh Dharma. Harta yang diperlukan untuk menunjang kehidupan, jika diperoleh tanpa berdasarkan dharma, maka harta itu tidak akan berarti, demikian juga halnya dengan kama, dan Dharma pulalah yang menjadi landasan hidup untuk mencapai moksa yang merupakan kemerdekaan atau kelepasan/terbebasnya manusia dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali. Terkait dengan tujuan hidup manusia dalam ajaran agama Hindu yaitu untuk mencapai kebebasan/kemerdekaan yaitu merdekanya roh dari samsara, maka dalam pelaksanaan hari raya Galungan dan kuningan yang mengandung makna kemerdekaan atau kelepasan.
Dengan memohon pembersihan dan pensucian dari Hyang Widhi Melalui upacara. Dan upacara ini diakhiri dengan "ngayab dan natab". yaitu menghaturkan dan memohon bersama-sama agar dilimpahkan karunia berupa keselamatan untuk semua anggota keluarga, agar kemudian lebih dapat meningkatkan kesatuan pribadinya serta mampu menaklukkan dan menguasai segala macam godaan, baik yang datang dari luar maupun yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Hal inilah yang disebut dengan kemenangan Dharma Melawan Adharma. (I Made Murdiasa, S.Ag/ http://okanila.brinkster.net/mediaFull.diaksespada12desember2014 )

E.     Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar